Tuesday, September 29, 2009

UU No 22/ 99 ke UU No 32/ 2004

Bias-Bias Otonomi Daerah


Tampaknya selama ini pemerintah masih terkesan bias dalam penjabaran konsep otonomi daerah, hal ini ditandai belum adanya kewenagan utuh bagi pemerintah kabupaten hingga pedesaan dalam menyelenggarakan pemerintahannya, Berjalannya otonomi daerah , pemerintah cenderung baru memberikan urusan dan tugas kepada daerah, sedangkan kewenangan untuk memutuskan sesuatu belum dilimpahkan secara utuh .

Otonomi daerah, baru pada tahap memunculkan pemekaran daerah-daerah, sedangkan kemandirian yang diinginkan oleh konsep Unsang-Undang belum terwujud, karena setiap keputusan yang diambil masih tergantung pemerintah pusat. Perubahan pengaturan tentang otonomi daerah dari UU No. 22/1999 ke UU No. 32/2004 semakin membuat otonomi daerah tidak semakin maju, bahkan semakin mengalami kemunduran. , dengan lahirnya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menempatkan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah, maka pelaksanaan otonomi daerah menjadi kabur. "Dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, DPRD dipisahkan dari bagian pemerintah daerah, dengan memasukkan DPRD sebagai bagian pemerintah daerah dan pada saat yang sama kepala daerah sebagai pimpinan daerah, maka DPRD dibawah kendali kepala daerah,"

Sebab berdasarkan UU No. 22/1999 pemerintah daerah dapat langsung mengeluarkan peraturan daerah (perda), namun sesuai UU NO. 32/2004 setiap perda yang dibuat pemerintah haruslah melalui persetujuan pusat terutama Depdagri agar peraturan yang dikeluarkan tidak bertentang dengan undang-undang yang berada di atasnya, seolah-olah dikonstruksikan oleh undang-undang hanya sebagai penyerahan kewenangan. "Hal ini berbeda dengan undang-undang 22 dimana secara historis pemerintah daerah lebih dahulu ada dari negara, berangkat dari pemikiran ini kekuasaan sebenarnya ada pada pemerintah daerah,"

seharusnya pemerintah lebih memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur segala kebijakan terkait daerah masing-masing. Harus ada pembagian kewenangan yang jelas oleh pemeritah pusat dan daerah terkait apa yang berhak diputuskan, sehingga tidak terjadi over laping kewenangan yang dapat mengacaukan sistem," , agar pemerintah pusat dan daerah paham dengan kewenangan dan tugas masing-masing sehingga dapat dipertanggungjawabkan pelaksanaanya.

Disari dari pernyataan penggagas otoda dan Bakharuddin Rosyidi Pengamat politik dari Universitas Andalas (Unand),