Wednesday, September 30, 2009

DESENTRALISASI & OTONOMI DAERAH



Perkembangan Otonomi di Indonesia

Dengan Permasalahan Yang Muncul
Perkembangan otonomi di Indonesia telah diterbitkan 9 (sembilan) undang undang yang mengatur tentang rintahan daerah yaitu:

• UU.No 1 tahun 1945 dimana kebijakan pemerintahan tentang otonomi daerah pada masa itu menitik
   beratkan pada dekosentrasi
• UU. No.22 tahun 1948 dimana kebijakan pemerintah lebih menitik beratkan pada desentralisasi
• UU.No. 1 tahun 1957 kebijakan otonomi bersifat dualisme, dimana kepala daerah bertanggung jawab
   kepada DPRD
• ketetapan Presiden No.6 tahun 1959 Pemerintahan lebih menekankan pada dekosentrasi
• UU. No18 tahun 1965 masa itu kebijakan Pemeritahan menitik beratkan pada desentralisasi dengan
   memberikan otonomi yang seluas-luasnya pada daerah sedangkan dekosentrasi hanya sebagai pelengkap
• UU,No 5 tahun 1974 itu setelah terjadinya G30.SPKI yang pada dasarnya telah terjadi fakuman dalam
   mengatur penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai denan UU No 5 tahun 1974 yaitu dengan 
   desentralisasi,dekosentrasi dan tugas pembantuan, selanjutnya dengan kebijakan pemerintahan pada masa
   orde baru,maka pada masa berlakunya UU.No 5 tahun 1974 pembangunan pembangunan menjadi isu   
   sentral dibandingkan politik yang pada penerapannya seolah olah terjadi proses politisasi peran peran
   pemerintahan daerah dan mengantikanya dengan peran pembangunan yang menjadi isi nasional
• UU. No 22 tahun 1999 pada masa itu terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintahan daerah
   sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembagunan dengan mengedepankan
   otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
• UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah & UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan
   keuangan Pusat & Daerah, dijabarkan pd Perpres No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
   Jangka Menengah Nasional.

Permasalahan yang dihadapi :

RPJMN Tahun 2004—2009 bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah, terkait dengan penataan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah, permasalahan yang masih dihadapi hingga akhir semester 1 tahun 2008, di antaranya
 (1) masih terdapat beberapa peraturan pelaksana UU No. 32 tahun 2004 yang belum tersusun, yaitu 6 PP  
      (Peraturan Pemerintah) dan 1 Perpres dari 27 PP, 2 Perpres dan 2 Permendagri (Peraturan Menteri
       Dalam Negeri) yang diamanatkan;
(2) masih terdapat 1 peraturan pelaksana UU No. 33 tahun 2004 yang belum diterbitkan, yaitu PP tentang
     Pengelolaan Dana Darurat;
(3) munculnya permasalahan terkait ketidakharmonisan antara peraturan perundang-undangan sektoral dan
      peraturan perundangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah sehingga menyebabkan kesulitan   
     dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan oleh pemda; serta
 (4) masih belum optimalnya pelaksanaan desentralisasi di daerah-daerah yang memiliki karakteristik khusus
      dan istimewa karena belum tersusun dan tersosialisasikannya peraturan perundangan yang mengatur 
      pelaksanaan desentralisasi di daerah-daerah

Permasalahan dalam program peningkatan kapasitas kelembagaan
pemerintah daerah
•  penerapan standar pelayanan minimal (SPM) sampai saat ini belum optimal karena peraturan menteri
    tentang SPM yang ditetapkan oleh departemen sektor sebagai acuan daerah dalam penerapan SPM,  
    masih dalam proses penyusunan;
• belum disusunnya rencana aksi nasional (RAN) di bidang pelayanan publik, khususnya bidang administrasi
   kependudukan dan perizinan investasi;
•  pemda dalam mengimplementasikan PP No. 41 Tahun 2007 dan menetapkan organisasi perangkat
   daerah, menemukan kendala yang disebabkan oleh adanya beberapa peraturan daerah (perda) yang sudah
    mengatur pelaksanaan restrukturisasi yang sesuai dengan kebutuhan daerah itu sendiri;
•  masih adanya berbagai protes dan ketidakpuasan para pendukung pasangan calon kepala daerah terhadap
    proses dan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada)

Permasalahan dalam program peningkatan kerja sama antar pemerintah daerah
  (1) belum tersosialisasinya dengan baik PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama
        Antar-Daerah yang diharapkan menjadi payung regulasi penting dalam mendorong sinergi dan integrasi
        perda yang mengatur kebijakan pengembangan kerja sama antardaerah;
 (2)  belum ada model/format ideal dan instrumen kerja sama yang potensial dikembangkan untuk    
       meningkatkan kualitas pelayanan publik;
 (3) belum ada insentif yang terukur untuk mendorong daerah dalam melakukan kerja sama; serta
 (4) secara umum pemda belum optimal memberdayakan potensi sumber daya yang ada untuk
      mendatangkan manfaat yang lebih besar, yang dikelola secara bersama-sama antar pemda.

Tuesday, September 29, 2009

UU No 22/ 99 ke UU No 32/ 2004

Bias-Bias Otonomi Daerah


Tampaknya selama ini pemerintah masih terkesan bias dalam penjabaran konsep otonomi daerah, hal ini ditandai belum adanya kewenagan utuh bagi pemerintah kabupaten hingga pedesaan dalam menyelenggarakan pemerintahannya, Berjalannya otonomi daerah , pemerintah cenderung baru memberikan urusan dan tugas kepada daerah, sedangkan kewenangan untuk memutuskan sesuatu belum dilimpahkan secara utuh .

Otonomi daerah, baru pada tahap memunculkan pemekaran daerah-daerah, sedangkan kemandirian yang diinginkan oleh konsep Unsang-Undang belum terwujud, karena setiap keputusan yang diambil masih tergantung pemerintah pusat. Perubahan pengaturan tentang otonomi daerah dari UU No. 22/1999 ke UU No. 32/2004 semakin membuat otonomi daerah tidak semakin maju, bahkan semakin mengalami kemunduran. , dengan lahirnya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menempatkan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah, maka pelaksanaan otonomi daerah menjadi kabur. "Dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, DPRD dipisahkan dari bagian pemerintah daerah, dengan memasukkan DPRD sebagai bagian pemerintah daerah dan pada saat yang sama kepala daerah sebagai pimpinan daerah, maka DPRD dibawah kendali kepala daerah,"

Sebab berdasarkan UU No. 22/1999 pemerintah daerah dapat langsung mengeluarkan peraturan daerah (perda), namun sesuai UU NO. 32/2004 setiap perda yang dibuat pemerintah haruslah melalui persetujuan pusat terutama Depdagri agar peraturan yang dikeluarkan tidak bertentang dengan undang-undang yang berada di atasnya, seolah-olah dikonstruksikan oleh undang-undang hanya sebagai penyerahan kewenangan. "Hal ini berbeda dengan undang-undang 22 dimana secara historis pemerintah daerah lebih dahulu ada dari negara, berangkat dari pemikiran ini kekuasaan sebenarnya ada pada pemerintah daerah,"

seharusnya pemerintah lebih memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur segala kebijakan terkait daerah masing-masing. Harus ada pembagian kewenangan yang jelas oleh pemeritah pusat dan daerah terkait apa yang berhak diputuskan, sehingga tidak terjadi over laping kewenangan yang dapat mengacaukan sistem," , agar pemerintah pusat dan daerah paham dengan kewenangan dan tugas masing-masing sehingga dapat dipertanggungjawabkan pelaksanaanya.

Disari dari pernyataan penggagas otoda dan Bakharuddin Rosyidi Pengamat politik dari Universitas Andalas (Unand),

Saturday, September 19, 2009

Bupati/Walikota Pilihanku

Kepala Daerah Yang Ideal


Sebagai mana yan disyaratkan dalam Peraturang perundang-Undangan , yang mengatur pelaksanaan Otonomi Daerah, sosok Kepala Daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota, Yaitu Bupati dan Walikota , dibutuhkan sosok yang secara representative sesuai dengan ketentuan UU NO 32 Tahun 2004.

Kendala di lapangan minimnya masyarakat yang memahami ketentuan tersebut membuat banyak masyarakat salah dalam menentukan pilihannya :

1. Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberi keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongsn tertentu stsu kelompok politiknya, yang bertentangan dengan pereturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga Negara dan/atau golongan masyarakat lain ( Pasal 28 butir a )

2. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerag dilarang turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik Negara/Daerah atau yayasan dalam bidang apaun. (Pasal 26 butir b )

3. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerag dilarang melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan. (Pasal 28 butir c)

Salah pilihnya masyarakat dalam menentukan pilihannya memberikan dampak yang sangat luas , terutama dalam pelaksanaan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

Munculnya konstelasi politik antara Dewan dengan Kepala Daerah ,sebab arah kebijakan yang bertentangan , hal ini membuat pelaksana Pemerintah daerah tidak berjalan sinergi; Munculnya aksi protes atau demo sekelompok masyarakat sebab putusan Kepala Daerah yang menyangkut perihal perekonomian masyarakat, khususnya lapisan bawah, sebut buruh…..

Antisipasi untuk dapat memperoleh pilihan Kepala Daerah yang Ideal , sebagaimana diamanatkan Peraturan perundang-undangan antara lain :

1. Masyarakat harus berkomitmen dalam pelaksanaan Pilkada haruslah bersih, bebas kecurangan ,dan segala bentuk mony politik. Sebab sudah hanpir dipastikan Jika yang terpilih dengan melalui mony politik, saat menjabat akan cari pulihan, dengan melakukan kebijakan-kebikakan yang mendatangkan keuntungan secara pribadi, yang tentunya merugikan masyarakat secara luas.

2. Secara cermat menimbang bibit , bobot,dan bebetnya, apakah sosok yang welas asih dengan wong cilik apa sebaliknya , terpuji dan bermoral.

Dengan indikasi yang demikian kiranya akan memperoleh sosok pemimpin yang amanah, dan akan terbentuk masyarakat Madani yang gemah ripah lohjinawe,





                                                           Renungan nurani disari dari UU NO 32 Th 2004