Tuesday, June 9, 2009

DESENTRALISTIK


DESENTRALISTIK-DEMOKRATIK: SOSOK OTONOMI DAERAH MASA DEPAN
Artikel : Toto Sugiarto
Kebijakan otonomi daerah pasca Orde Baru berlaku efektif sejak 1 Januari 2001.
Otonomi daerah, yang dapat didefinisikan sebagai kewenangan untuk mengatur rumah
tangga sendiri, telah membuat pemerintah pusat tidak lagi mendominasi perumusan
kebijakan publik di daerah. Dalam bahasa lain, sentralisme kekuasaan secara
dramatis berkurang dan hampir secara otomatis banyak proses pengambilan
keputusan beralih dari pusat ke daerah. Dari perspektif kehidupan politik,
fenomena demikian menunjukkan arah yang benar, yaitu, menuju kehidupan politik
yang lebih demokratis. Tetapi layaknya sebuah transisi, tidak tertutup
kemungkinan arah tersebut tiba-tiba berbelok tajam, seperti arus balik, dan
menyeret kita kembali ke pemerintahan otoriter.
Tulisan ini membahas masa depan otonomi daerah dengan penekanan pada
kesejarahan, kekuasaan dan demokrasi. Ada beberapa pemikiran yang dijadikan
landasan untuk memprediksi hal tersebut. Pertama, melihat aspek kesejarahan dari
otonomi daerah. Maksudnya, tulisan ini tidak hanya berbicara tentang fakta dan
data sejarah, tetapi mengutamakan unsur refleksi, dalam hal ini memakai metode
dialektika Hegel . Kedua, otonomi daerah dianalisa dalam kerangka empat cause
(penyebab) (Aristotle, 1952), yaitu the efficient cause , the final cause , the
material cause , dan the formal cause ; yang kesemuanya berperan secara
signifikan terhadap keberlangsungan proses desentralisasi tersebut. Keempat
cause ini merupakan unsur-unsur yang tidak-bisa-tidak harus ada bagi
keberhasilan otonomi daerah karena keempatnya berperan sama pentingnya. Ketiga,
dibahas terjadinya proses demokratisasi dan kaitannya dengan otonomi daerah.
Dengan diterapkannya otonomi daerah, rakyat menjadi lebih dekat dengan
pemerintahnya sehingga interaksi antara pemerintah dan rakyat bisa lebih
intensif, hal ini tentu saja mengakselerasi proses demokrasi. Terakhir,
memprediksi perkembangan otonomi daerah di masa depan. Setelah melakukan
refleksi terhadap sejarah desentralisasi dan demokratisasi ditambah dengan
pertimbangan empat cause sebelumnya, kiranya akan memperjelas arah dari otonomi
daerah ke depan.
Dialektika Otonomi Daerah di Indonesia
Sejak awal kemerdekaan, aturan tentang pemerintahan daerah telah dibuat,
meskipun belum komprehensif. Pengakuan terhadap kekuasaan dan pemerintahan
daerah setidaknya terlihat dalam pasal 18 UUD 1945 . UUD 1945 memang tidak
mengatur bentuk dan susunan pemerintahan daerah. Namun dari pasal tersebut
tergambar bahwa para elit politik, founding fathers pada saat itu, tidak
memiliki hasrat untuk memusatkan kekuasaan pada diri mereka. Pemikiran Friedrich
Nietzsche, yang mengatakan “Dimana ada perjuangan, itu adalah perjuangan untuk
berkuasa” (Arifin, 1987: 27), tampaknya tidak berlaku bagi founding fathers
kita. Mereka memilih berbagi kekuasaan dengan daerah daripada digenggamnya
sendiri. Fragmentasi dalam ruang kekuasaan ketika itu cukup kentara, dimana
pusat dan daerah, terpisah dalam ruang yang berbeda sehingga daerah memiliki
cukup kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri. Hal ini ditunjukkan secara
lebih jelas setelah keluarnya UU No. 1 tahun 1945. Roh desentralisasi
menampakkan dirinya dan hadir dalam hati dan pemikiran founding fathers kita.
Pemihakan seperti itu terlihat jelas pada, misalnya, Bung Hatta. Bahkan
pemihakannya bisa disebut terlalu ekstrim karena beliau mendukung federalisme.
Dibanding founding fathers lain yang cenderung menyetujui negara kesatuan, Bung
Hatta menyetujui federalisme. Perbedaan pandangan ini salah satunya sebagai
akibat dari perbedaan latar belakang pendidikan. Bung Hatta yang mengenyam
pendidikan di Barat, memiliki perspektif yang lebih bebas tentang kekuasaan
dibanding yang lain. Pendeknya, hampir semua founding fathers mengakui
eksistensi pemerintah daerah.
Kesadaran Terhadap Legitimasi Rakyat
Untuk menindaklanjuti pasal 18 UUD 1945 dan memperjelas pengaturan kekuasaan di
daerah, para elit yang tergabung dalam Komite Nasional Pusat (KNP), yang dengan
maklumat Wakil Presiden No. X diserahi kekuasaan legislatif, mengusulkan RUU
tentang Komite Nasional Daerah (KND). Usulan tersebut diterima oleh pemerintah
dan lahirlah undang-undang pemerintahan daerah yang pertama, yaitu, UU No.1
Tahun 1945 (Syaukani, 2002: 61). Undang-undang tersebut masih jauh dari memadai
dan tidak lengkap. Selain itu, terkesan memberikan kekuasaan lebih besar kepada
eksekutif, dalam undang-undang ini, KND yang ditetapkan menjadi Badan Perwakilan
Rakyat Daerah (BPRD) dipimpin oleh kepala daerah.
Sekilas kita bisa saja mentafsirkan bahwa dengan begitu, pemerintah cenderung
tidak demokratis dengan alasan legislatif daerah diperlakukan sebagai subordinat
dari eksekutif daerah. Namun apabila kita melakukan perenungan lebih dalam dan
menyelami kondisi pada waktu itu, dimana pemerintahan masih sangat labil, dengan
gangguan dari dalam dan luar negeri, terutama rongrongan dari pihak Belanda yang
belum merelakan lepasnya negeri jajahan yang merupakan “tambang emas” yang tiada
habisnya, rasanya kita akan sepaham bahwa dalam kondisi darurat yang penuh
ancaman seperti itu, diperlukan kekuasaan pemerintahan yang stabil. Stabilisasi
dengan cara akumulasi kewenangan di eksekutif, diperlukan untuk mempertahankan
kemerdekaan yang baru saja didapatkan. Walaupun terkesan executive heavy, namun
dengan pertimbangan bahwa kondisi ketika itu memerlukan kekuatan pemerintahan
yang cukup untuk menangkal berbagai rongrongan, maka undang-undang ini telah
mencukupi untuk sekedar memberikan signal yang jelas tentang adanya kesadaran
akan pentingnya legitimasi dari rakyat.
Meskipun dalam kondisi penuh ancaman sehingga diperlukan akumulasi kekuasaan dan
kewenangan di eksekutif, pemimpin Republik tidak ragu untuk menerapkan demokrasi
liberal ketika itu. Hadirnya BPRD dalam panggung politik daerah menjadi cermin
dari praktek demokrasi itu. Dengan kesadaran dan arah kebijakan seperti itu,
kedaulatan benar-benar berada ditangan rakyat. Realitas tersebut merupakan awal
kehidupan bernegara yang tepat karena hanya kehendak rakyatlah yang dapat
mengatur kekuatan negara dengan cara yang disetujui untuk mencapai tujuan akhir
lembaga itu, yakni, kebaikan bersama (Rousseau, 1986: 22).
Tesis: Pemihakan Terhadap Desentralisasi
Praktek demokrasi di Republik yang baru saja merdeka tersebut menjadi lebih
memadai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1948. Undang-undang ini membagi daerah
menjadi daerah otonom biasa dan daerah istimewa serta membagi dua
penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu, DPRD sebagai lembaga legislatif dan
Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) sebagai badan eksekutif. Berdasarkan dua hal
tersebut, ciri utama dari undang-undang ini adalah semangat desentralisasi yang
diwujudkan dalam pemberian otonomi kepada daerah dalam bentuk otonomi biasa dan
istimewa serta ciri lainnya pemerintahan daerah yang demokratis, yaitu,
pemerintahan yang terbagi ke dalam kekuasaan eksekutif dan legislatif. Pemisahan
kekuasaan demikian secara teoretis mengurangi kemungkinan munculnya
otoritarianisme dan membuka kesempatan bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya
melalui para wakilnya di legislatif. Sayangnya, implementasi undang-undang
pemerintahan daerah ini tidaklah berjalan mulus karena banyaknya gangguan
seperti agresi militer Belanda I dan II serta berbagai pemberontakan separatis.
Pemerintah kolonial Belanda yang tidak rela melepas bekas tanah jajahannya,
terus melakukan upaya untuk memecah belah NKRI. Akhirnya dalam suatu konferensi
yang dikenal dengan Konferensi Meja Bundar (KMB), mereka berhasil mewujudkan
ambisinya dengan membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Dengan terbentuknya
RIS, RI hanya menjadi salah satu bagian dari negara serikat tersebut. Namun,
komitmen founding fathers terhadap kesatuan bangsa sangatlah besar. Hal ini
terbukti dengan tidak berumur panjangnya RIS. Pada tahun 1950, NKRI kembali
terbentuk dengan UUDS-RI sebagai konstitusi. Peristiwa ini merefleksikan bahwa
bentuk negara kesatuan tampaknya merupakan format yang paling tahan terhadap
berbagai usaha-usaha pemecah belahan dan penghancuran bangsa.
Dengan kuatnya komitmen terhadap negara kesatuan, tidak berarti para pendiri
bangsa cenderung sentralistik dalam memerintah. Mereka tetap menunjukkan
pemihakannya terhadap desentralisasi. Pemihakan ini terlihat dalam pasal 131
ayat 2 UUDS-RI yang berbunyi “Kepada daerah-daerah diberikan otonomi
seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri”. Pemihakan ini dipertegas
dengan keluarnya UU No.1 Tahun 1957. Roh dari undang-undang ini senada dengan
UUDS-RI, yaitu, otonomi seluas-luasnya. Intinya, daerah berhak mengatur segala
urusan rumah tangganya sendiri. Tetapi, ada ciri khas dalam undang-undang ini
yang sesungguhnya agak memperlemah otonomnya suatu daerah, yaitu, sistem
hirarkis. UU No. 1 Tahun 1957 mengatur otonomi secara bertingkat dengan hubungan
hirarki antara daerah yang lebih tinggi dengan daerah yang lebih rendah.
Antitesis: Berpaling ke Sentralisasi
Kehidupan berbangsa dan bernegara berubah total pasca keluarnya Dekrit Presiden
5 Juli 1959. Pemerintahan yang desentralistik dan demokratis, yang oleh Soekarno
–setelah dipengaruhi tentara– dianggap terlalu liberal dan penuh konflik antar
elit sehingga kabinet jatuh bangun, diganti dengan pemerintahan sentralistik dan
otoriter. Kebijakan ini merupakan langkah yang berlawanan arah dengan perjalanan
bernegara 1945-1959. Pemerintahan Soekarno pasca Dekrit 5 Juli 1959 melakukan
kontrol yang sangat keras terhadap berbagai segi kehidupan masyarakat seperti
pelarangan protes dalam bentuk pemogokan, keharusan bagi petani untuk menanam
komoditas yang ditentukan, keharusan bagi setiap kelompok politik untuk setia
dan mendukung revolusi, kewajiban bagi partai politik untuk menerima ideologi
yang ditanamkan oleh negara, dan pengawasan ketat terhadap pers, penerbitan,
serta kampus (Syaukani, 2002: 98).
Dalam hal hubungan pusat dan daerah, terjadi perubahan kebijakan yang mengarah
ke sentralisme kekuasaan. UU No. 1 Tahun 1957 yang memiliki roh otonomi luas
dicabut, dan digantikan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 yang
cenderung bersifat sentralistik. Daerah tidak diberi kebebasan untuk mengatur
rumah tangganya sendiri, segalanya diputuskan oleh pusat, termasuk dalam hal
pemilihan kepala daerah diputuskan oleh Presiden dan mendagri. DPRD tidak lagi
berwenang menentukan kepala daerah sehingga akibatnya, kepala daerah tidak
bertanggungjawab kepada DPRD. Artinya, kepala daerah tidak lebih daripada
kepanjangan tangan pemerintah pusat.
Enam tahun setelah Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959, pemerintah mengeluarkan
UU No.18 Tahun 1965, yang tetap berwajah sentralistik-otoriter. Dalam
undang-undang tersebut terdapat satu pasal, yang tampaknya, salah satu tujuannya
untuk memperbaiki hubungan dengan daerah. Untuk tujuan tersebut, dalam pasal 39,
pemerintah menetapkan bahwa pemerintah daerah berhak dan berkewajiban mengatur
dan mengurus rumah tangga daerahnya. Kesan yang muncul adalah pusat kembali
mendukung desentralisasi, sebagaimana sebelum dekrit. Padahal kalau diteliti
secara mendalam, nuansa sentralisme kekuasaan dalam undang-undang itu tetap
dominan karena ternyata kepala daerah tetap merupakan perpanjangan tangan
pemerintah pusat.
Kecenderungan untuk menerapkan sentralisasi kekuasaan terus berlanjut pada masa
Orde Baru. Kondisi politik yang buruk, tampaknya menjadi alasan yang rasional
bagi rezim tersebut untuk tetap menerapkan kebijakan pendahulunya yang
sentralistik. Dalam rangka menjalankan politik stabilitas tersebut, rezim Orde
Baru menggunakan dua pendekatan (Widarta, 2001: 87). Pertama, peningkatan
instrumen kekerasan/militer. Orde Baru seringkali memakai pendekatan keamanan
dalam penyelesaian setiap masalah antara negara dan rakyat. Apabila ada
perselisihan antara pemerintah dengan rakyat, seringkali moncong senjata yang
dihadapkan kepada rakyat. Kedua, penataan birokrasi menjadi bergantung ke atas.
Hal ini untuk memastikan adanya loyalitas tunggal.
Kehidupan bernegara semakin sentralistik tatkala dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-undang yang berlaku selama
pemerintahan Orde Baru ini, pada prinsipnya tidak mengakui eksistensi pemerintah
daerah. Segalanya bergantung ke atas. Elite-elite daerah ketika itu hanyalah
merupakan “boneka” yang sepenuhnya dikendalikan pusat. Yang benar-benar
pemerintah (pemegang otoritas) adalah elite pusat, sedangkan di daerah hanya
nerupakan perpanjangan tangan dari pusat.
Jadi yang ada bukanlah pemerintah daerah melainkan pemerintahan di daerah .
Dengan istilah lain, pemerintahan pada dasarnya merupakan pemerintahan pusat,
hanya kebetulan saja yang ditugaskan di daerah. Pemerintahan tersebut bukan
muncul dari bawah, melainkan di drop dari atas. Sedangkan prinsip otonomi yang
dipakai bukanlah otonomi luas, melainkan otonomi yang nyata dan
bertanggungjawab.
Ada beberapa karakteristik penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut
undang-undang ini (Syaukani, 2002: 145). Pertama, wilayah negara dibagi ke dalam
daerah yang bersifat otonom dan ke dalam wilayah administratif. Pada prakteknya,
tidak ada daerah yang benar-benar otonom. Semua daerah pada era ini hanyalah
wilayah administratif yang pemerintahan daerahnya hanyalah melaksanakan
kebijakan pusat. Pemerintahan di daerah bersikap menunggu petunjuk, hampir tidak
ada tindakan yang merupakan inisiatif dan hasil kreativitas daerah. Kedua,
dipakai sistem hirarki pada setiap tingkatan pemerintahan. Sistem hirarki ini
riskan karena dengan kekuasaan yang lebih besar di tingkat pemerintahan lebih
tinggi, itu seringkali disalahgunakan untuk memaksakan kehendak terhadap
pemerintahan di bawahnya. Pemerintahan yang lebih tinggi, yang memiliki
kekuasaan lebih besar, cenderung akan memperlakukan daerah dibawahnya sebagai
sarana untuk pencapaian tujuan sendiri. Sedangkan daerah di bawahnya, yang tentu
saja lebih lemah tersebut, harus mengabdi kepada daerah di atasnya. Ketiga, DPRD
merupakan bagian dari pemerintah daerah. Dengan hubungan seperti ini, DPRD
berada dibawah kepala daerah sehingga DPRD tidak berperan sebagai wakil rakyat
daerah, melainkan hanya pembantu kepala daerah. Keempat, Mendagri terlalu
mencampuri urusan daerah. Kelima, kedudukan kepala wilayah lebih kuat ketimbang
kepala daerah. Hal ini menjadikan cengkraman pusat terhadap daerah sedemikian
kuat sehingga daerah tidak memiliki kebebasan untuk mengatur rumahtangga
sendiri. Terakhir, ketergantungan daerah di sektor keuangan. Akibatnya, hampir
semua proyek pembangunan di daerah ditentukan oleh pusat, sedangkan daerah hanya
pelaksana.
Sintesis: Undang-Undang No. 22/1999
Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, muncul aspirasi yang kuat dari masyarakat
untuk melakukan desentralisasi. Dengan lain perkataan, muncul keinginan untuk
kembali membuat fragmentasi ruang kekuasaan antara pusat dan daerah. Dengan
fragmentasi ini masyarakat berharap akan terjadi diferensiasi kebebasan,
kewenangan dan tanggung jawab dalam masing-masing ruang yang membuat keduanya,
baik pusat ataupun daerah dapat mengembangkan diri dengan lebih bebas.
Sebagai respons dari aspirasi ini, pada akhir April 1999 pemerintah mengesahkan
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu, UU No. 22/1999. Undang-undang
ini membawa pembaruan pada sistem pemerintahan, dari sentralistik-otoriter ke
desentralistik-demokratik. Dengan berubahnya sistem pemerintahan menjadi
bersifat desentralistik, daerah memiliki kewenangan yang luas mencakup semua
kewenangan pemerintahan, kecuali beberapa kewenangan yang dinyatakan secara
eksplisit sebagai kewenangan pemerintah pusat, yaitu, yang tertera dalam pasal 7
dan pasal 9 . Selain itu terdapat bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan
oleh daerah yaitu pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan
hidup, pertahanan, koperasi, dan tenaga kerja.
Dari sisi demokratisasi, rakyat menjadi mudah menyalurkan aspirasinya, salah
satunya karena dekatnya pemerintah dan wakil rakyat. Kedekatan yang dimaksud
adalah dekatnya wewenang dan kekuasaan pemerintah dengan rakyat, dimana sekarang
ini keduanya sudah berada ditangan pemerintahan daerah, yang merupakan hasil
dari devolution of power dan delegation of authority dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Dengan kedekatan wewenang ini, pemerintahan daerah di era UU
No. 22/1999 ini tidak lagi merupakan “Pemerintahan di Daerah” tetapi sudah
menyatu dengan rakyat setempat dan benar-benar menjadi Pemerintahan Daerah.
Tujuan (final cause) yang terkandung dalam UU No. 22/1999, terlihat sangat
menguntungkan baik bagi pusat ataupun daerah. Seperti telah disebutkan di atas,
sedikitnya terdapat dua tujuan otonomi daerah. Pertama, otonomi daerah
membebaskan pemerintah pusat dari beban pekerjaan yang terlalu berlebihan
sehingga pemerintah pusat akan memiliki waktu yang cukup untuk menyelesaikan
tugas-tugas dan merumuskan kebijakan-kebijakan makro. Kedua, memberikan
kewenangan luas kepada pemerintah daerah untuk memberdayakan diri secara
optimal. Dengan desentralisasi, banyak bidang yang dulu merupakan kewenangan
pusat, sekarang menjadi kewenangan daerah, seperti, pengelolaan pertambangan,
perizinan investasi, alokasi anggaran dari dana subsidi pemerintah pusat,
penetapan prioritas pembangunan, pengangkatan dalam jabatan struktural,
perubahan batas wilayah administrasi, pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa,
serta pemilihan kepala daerah (Syaukani, 2002: 173). Selain itu, diterimanya
sebagian kekuasaan pusat, memberikan peluang pada pemerintah daerah untuk
memperjuangkan aspirasi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya. Asumsinya,
semakin banyak kewenangan dalam pengambilan keputusan yang diambil oleh daerah
akan semakin baik karena pemerintah daerah tentu lebih memahami kondisi setempat
sehingga kebijakannya dapat lebih tepat sasaran.
Dialektika otonomi daerah
Dari pengalaman sejarah pemerintahan di Republik ini, terlihat bahwa
sesungguhnya perkembangan sistem pemerintahan merupakan sebuah proses dialektis.
Tesisnya adalah desentralisasi pada era 1945-1959 (sebelum Dekrit Presiden)
adalah sebuah desentralisasi yang masih memiliki kekurangan, belum memadai dan
belum lengkap. Dari saat keluarnya Dekrit Presiden sampai rezim Orde Baru
tumbang adalah suatu antitesis, dimana pemerintahan menjadi sangat sentralistik.
Sintesis tercapai ketika mulai disahkannya UU No. 22/1999 yang bersifat
desentralistik yang lebih memadai dan lengkap/komprehensif dibanding
desentralisasi di era 1945-1959.
Dari segi desentralisasi kekuasaan, otonomi daerah sekarang ini mempunyai
kelebihan dibanding otonomi daerah di awal kemerdekaan. Kabutapen/Kota
benar-benar menikmati otonomi luas karena struktur hirarki seperti dulu tidak
lagi diterapkan. Apabila dalam otonomi daerah di awal kemerdekaan, Daerah
Tingkat II merupakan bawahan dari Daerah Tingkat I. Sekarang ini, Kabupaten/Kota
bukanlah bawahan dari Propinsi. Jadi, Kabupaten/Kota tidak hanya memiliki ruang
yang terfragmentasi dari propinsi, melainkan juga secara struktural, hirarki
yang sebelumnya ada dan mengikat keduanya, sekarang ini tidak ada lagi. Dalam UU
22/1999 pasal 4 ayat 2 menyebutkan bahwa daerah-daerah Propinsi, Kabupaten dan
Kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki.
Demokratisasi dan Otonomi Daerah
Sebagai bagian esensial dari proses demokratisasi, desentralisasi dianggap
penting karena dapat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi rakyat daerah
dan wakilnya untuk memformulasi dan mengimplementasikan kebijakan publik.
Tataran pemerintahan lokal adalah tingkat yang paling efektif bagi rakyat untuk
berperan serta dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Intinya,
desentralisasi mendekatkan rakyat dengan wakilnya sehingga rakyat mengetahui
lebih baik wakil mereka dan sebaliknya, wakil rakyat dapat mengetahui lebih baik
keperluan dan keinginan dari konstituen.
Dalam kaitannya dengan demokratisasi, pemerintahan Republik tak ubahnya seperti
pendulum yang suatu waktu bergerak ke kanan, lain waktu menuju ke kiri, kadang
condong ke demokrasi, kurun waktu tertentu mengarah ke otoritarianisme. Realitas
demikian terjadi dalam beberapa periode sejarah politik Indonesia, yang menurut
Gaffar (1999) terdiri dari masa revolusi kemerdekaan, pemerintahan parlementer,
pemerintahan demokrasi terpimpin, dan pemerintahan Orde Baru. Satu lagi, yaitu,
periode reformasi, kiranya dapat ditambahkan ke dalam periodesasi tersebut
karena banyaknya pembaruan politik yang terjadi pada era ini.
Meskipun sarat dengan kontestasi antar elit, pada masa revolusi kemerdekaan,
kehidupan politik boleh dibilang sangat demokratis. Seperti telah diutarakan
sebelumnya, elit politik pada saat itu berusaha untuk membentuk lembaga wakil
rakyat, dari mulai terbentuknya KNP, KND, sampai lahirnya DPR dan DPRD. Semua
lembaga negara yang telah terbentuk berusaha bekerja sesuai dengan keinginan
rakyat, di sisi lain, rakyat bisa mengartikulasikan kepentingannya dan memiliki
hak politik yang sama. Selanjutnya, periode demokrasi parlementer merupakan
periode pemerintahan yang sangat demokratis, dimana terdapat hampir semua elemen
demokrasi seperti pemilu 1955 yang jurdil, kehidupan partai yang otonom,
akuntabilitas publik yang tinggi, lembaga perwakilan rakyat yang berkinerja
baik, kebebasan berpendapat, dan pemberlakuan otonomi daerah seluas-luasnya
(Gaffar, 1999: 12).
Ketika demokrasi liberal digantikan oleh demokrasi terpimpin, dimana yang
terakhir ini sesungguhnya bukanlah demokrasi, maka kekuasaan berubah menjadi
otoriter. DPR yang ketika itu bernama DPR-GR lebih merupakan pembantu
pemerintah, sedangkan fungsi kontrol ditiadakan (Budiardjo, 1998: 71).
Memburuknya demokrasi ternyata paralel dengan memburuknya hubungan pusat dan
daerah. Puncak dari hubungan yang buruk ini adalah terjadinya pemberontakan
separatis yang dipelopori PRRI dan Permesta (Gaffar, 1999: 26). Otoritarianisme
ini berlanjut pada masa Orde Baru, dimana DPR kembali hanya menjadi “tukang
stempel”. Kali ini “tukang stempel” tersebut mengabdi pada rezim Soeharto, dan
rakyat hidup dalam kekangan politik serta sentralisme kekuasaan. Sentralisme
kekuasaan ini, pada era Orde Baru tidak hanya dalam hal hubungan pusat-daerah.
Di pusatpun, kekuasaan sangat tersentralisasi pada satu figur, yaitu, Soeharto
yang menyelenggarakan kekuasaan secara paternalistik. Gaya kekuasaan Soeharto
tampak bagaikan seorang ayah yang arif dan penuh kasih terhadap anak-anaknya.
Dengan pendekatan seperti itu Soeharto memperlakukan pihak lain sebagai
subordinat untuk menjaga kepentingan politik dan ekonominya. Sedangkan pihak
lain itu, tidak memiliki pilihan lain kecuali mengabdi pada kehendak “sang
ayah”.
Situasi baru berubah ketika letupan api reformasi berhasil menggulingkan
Soeharto. Sejak itu, terlihat bahwa kehidupan politik di negeri ini mulai
mengalami transisi ke arah demokrasi. Walaupun transisi ini sesungguhnya
merupakan suatu ketidakjelasan, namun paling tidak terbuka peluang untuk
memperbaiki hubungan negara-rakyat yang sejak era demokrasi terpimpin didominasi
oleh negara.
Undang-undang Pemerintahan Daerah yang berlaku di era reformasi (UU No. 22/1999)
memiliki beberapa segi positif, satu diantaranya adalah DPRD dan pemerintah
daerah merupakan dua lembaga terpisah yang berkedudukan sejajar. Posisi seperti
itu, yang merupakan antitesis dari kedudukan DPRD di era UU No. 5 tahun 1974
dimana DPRD berada di bawah kepala daerah, merupakan perkembangan positif bagi
proses demokratisasi. DPRD menjadi kekuatan penyeimbang yang bisa melakukan
kontrol terhadap berbagai kebijakan eksekutif. Tetapi tentunya kelebihan dari UU
No. 22/1999 yang memberikan kekuasaan besar kepada lembaga perwakilan rakyat
daerah ini, jangan sampai disalahgunakan oleh elit. Masalahnya kembali pada apa
yang disebut Aristoteles sebagai efficient cause (faktor manusia), dimana etika
individu menjadi penentu apakah seorang elit di DPRD akan menyalahgunakan
kekuasaan atau tidak.
Mencermati sejarah politik Indonesia tersebut, terlihat ada hubungan yang searah
dengan dialektika otonomi daerah. Sewaktu demokrasi liberal (1945-1959)
kehidupan politik berjalan secara demokratis. Begitu rezim yang berkuasa
bergerak ke arah otoritarianisme, terlihat bahwa kebijakan hubungan pusat-daerah
beralih ke sentralisme kekuasaan (1959-1999). Kedua periode tersebut merupakan
tesis dan antitesis, sedangkan sintesisnya adalah politik Indonesia kontemporer
dimana arah politik Indonesia kembali bergerak ke demokrasi dan kebijakan
hubungan pusat-daerah kembali ke desentralistik.
Prediksi: Otonomi Daerah Tahun 2020
Berdasarkan uraian di atas, tampaknya, sekarang ini kita hidup dalam suatu
sintesis dari desentralisasi dan demokratisasi. Suatu kehidupan bernegara dengan
kekuasaan yang terdesentralisasi dalam bentuk daerah-daerah otonom disertai
iklim politik nasional dan lokal yang demokratis. Refleksi ini, menunjukkan
bahwa sebenarnya rakyat telah berdaulat karena mereka bisa mengartikulasikan
aspirasi dan kepentingannya, bisa turut memformulasi dan mengontrol implementasi
setiap kebijakan publik.
Namun dipihak lain, muncul kekhawatiran bahwa sintesis ini akan menjadi tesis
kembali. Dimana tesis ini kemudian menghasilkan antitesis, berupa kondisi
politik yang bertentangan dengan realitas politik kontemporer. Sedikitnya
terdapat tiga skenario antitesis yang bisa muncul dan ketiga-tiganya
mengkhawatirkan. Pertama, antitesis berupa suatu pemerintahan yang lebih
sentralistik-otoriter dibanding masa demokrasi terpimpin dan Orde Baru. Kedua,
munculnya arus yang tampak melemahkan kesatuan negara, yaitu, gerakan membentuk
negara federasi. Ketiga, sebagai gerakan yang lebih ekstrim dari yang kedua
yaitu gerakan separatisme untuk membentuk negara sendiri.
Mempertahankan Sintesis
Dari empat arah perjalanan kehidupan bernegara yang mungkin dilalui, yaitu; (a)
tetap dalam sintesis kehidupan bernegara yang desentralistik-demokratik; (b)
antitesis berupa kembali ke sistem pemerintahan sentralistik-otoriter; (c)
antitesis berupa pemerintahan “desentralistik ekstrim” yaitu, federasi dan; (d)
antitesis terakhir yaitu gerakan separatis yang pada akhirnya bisa meniadakan
eksistensi Republik Indonesia, seperti nasib Uni Soviet. Penulis optimis bahwa
sintesis yang sekarang sedang berlangsung masih bisa berlanjut di masa depan,
bahkan dengan beberapa penyempurnaan, dengan syarat beberapa masalah kehidupan
pemerintahan –sebut saja cause yang bermasalah– segera diperbaiki. Dalam konteks
ini, perbaikan pada efficient cause dan material cause menjadi krusial.
Sedangkan dua cause lainnya, yaitu, final cause (tujuan otonomi daerah) dan
formal cause (bentuk otonomi daerah yang tetap dalam NKRI) sudah tepat, sehingga
tidak perlu dilakukan perbaikan dan perubahan.
Untuk material cause, yang perlu diperbaiki adalah Undang-Undang dan seluruh
peraturan lainnya, sedangkan SDA, tidak bermasalah. Negeri ini adalah negeri
yang kaya akan SDA, yang masih harus dilakukan adalah menatanya agar optimal,
misalnya dengan membuat sentra-sentra produksi. Sebagai gambaran umum mengenai
potensi SDA di daerah, tampak bahwa suatu pulau tertentu dapat dijadikan sentra
suatu produk. Kelapa sawit, karet dan kopi, misalnya, merupakan produk unggulan
Pulau Sumatera. Sedangkan teh dan kakao di Jawa, dan Kakao masing-masing menjadi
produk Pulau Jawa dan Sulawesi (tim peneliti CPS, 2001). Sentralisasi jenis
perkebunan tersebut sangat efektif untuk menciptakan pusat-pusat ekonomi yang
berdasarkan pada suatu jenis produk hasil alam.
SDA perlu diperhatikan karena pembangunan di daerah sepatutnya difokuskan pada
sektor-sektor unggulan sehingga dapat terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi.
Dengan fokus pada sektor potensial, pembangunan lebih terjamin keberhasilannya
karena dukungan resources yang dapat diandalkan. Kejelasan prioritas pembangunan
pada sektor tertentu juga akan mempercepat peningkatan investasi terutama
investasi.
Perbaikan pada ‘Efficient Cause’
Cause yang berupa SDM yang berperan langsung dalam otonomi daerah ini tampak
bermasalah dan diselimuti oleh kuasa-kuasa kejahatan, kerakusan, dan egoisme.
Realitas sekarang ini menunjukkan bahwa banyak perilaku elit politik pusat dan
daerah serta birokrasi, yang semestinya bertanggungjawab mensukseskan otonomi
daerah, malah mempraktekkan cara-cara berpolitik yang berpotensi menggagalkan
program ini. Seringkali mereka berselisih, akibat adanya benturan kepentingan
baik secara vertikal ataupun horisontal, terutama yang berhubungan dengan
keuangan. Benturan ini terjadi akibat moralitas para elit yang kurang baik dan
terlihat mementingkan diri sendiri. Sikap egoisme ini pada tahap tertentu
menghambat proses desentralisasi dan lebih luas lagi; demokratisasi.
Benturan kepentingan secara vertikal adalah antara eksekutif pusat, yaitu,
Presiden, Menteri, dan Gubernur dengan eksekutif daerah, yaitu, Bupati dan
Walikota. Elit di pusat tampaknya belum sepenuhnya mendukung otonomi daerah
karena mereka khawatir akan kehilangan sumber dana dan kekuasaan. Selama masa
Orde Baru, dimana kekuasaan sangat sentralistik, para pejabat di Jakarta
menikmati limpahan dana dan kekuasaan yang “diperas” dari daerah terutama dana
yang berasal dari hasil kekayaan alam daerah. Setelah otonomi daerah berjalan,
mereka secara otomatis kehilangan sebagian besar sumber dana tersebut karena
harus dilimpahkan ke daerah . Oleh karena itu, kemudian muncul keinginan untuk
mengembalikan pembagian keuangan ke kondisi sebelum undang-undang perimbangan
keuangan yang sekarang berlaku. Contoh kasus yang ekstrem adalah usaha Mendagri
yang berhasil meyakinkan Presiden untuk mengeluarkan keputusan Presiden No. 10 /
2001 yang mementahkan kembali penyerahan kewenangan dalam bidang pertanahan
kepada Kabupaten dan Kota (Syaukani, 2002: 312). Contoh lainnya adalah adanya
usaha untuk merevisi UU No. 22 / 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana isi
draf revisi tersebut cenderung kembali ke sentralistik. Hal ini bisa dilihat
dari adanya pengakuan kembali sistem hirarki, yaitu, pembentukan kabupaten dan
kota sebagai subordinat dari propinsi.
Benturan horisontal dalam kaitannya dengan otonomi daerah kerapkali terjadi
antara DPRD dengan Pemerintah Daerah, yaitu, DPRD Propinsi dengan Gubernur dan
DPRD Kabupaten/Kota dengan Bupati/Walikota. Kedua pihak terlihat mengalami
degradasi moral sampai hanya sebatas mementingkan diri sendiri . Dalam banyak
kasus, DPRD terlihat memanfaatkan momen-momen tertentu untuk meraup keuntungan
finansial atau untuk menggulingkan kepala daerah, misalnya, melalui momen
pemilihan kepala daerah dan laporan pertanggungjawaban (LPJ) tahunan kepala
daerah. Dipihak lain, kepala daerah, karena pada saat pencalonan dirinya atau
pada saat LPJ harus mengeluarkan biaya yang luar biasa besarnya, akibatnya
banyak kepala daerah yang menanggalkan moral, berusaha dengan segala cara
menggunakan jabatannya untuk mengembalikan “modal” yang telah dia tanamkan pada
saat pencalonan atau LPJ. Itulah contoh kasus benturan antara DPRD dengan kepala
daerah yang kesemuanya memperlihatkan bahwa banyak elit politik daerah yang
sudah keluar jalur etika.
Perselisihan antara wakil rakyat daerah dan kepala daerah, sebenarnya wajar saja
dalam alam demokrasi. Namun, apabila terlalu sering atau sampai memuncak pada
konflik tajam, serta bermotifkan egoisme pribadi dan kelompok, tentu berakibat
buruk pada pembangunan daerah dan pelayanan masyarakat . Padahal dengan adanya
otonomi daerah, mereka mendapat limpahan pekerjaan yang signifikan besarnya dari
pusat. Disinilah, diharapkan rakyat dapat berperan dalam meredam perselisihan
antar elit sehingga kehancuran kehidupan bernegara yang terdesentralisasi dan
demokratis dapat dicegah. Rakyat sepatutnya aktif menyalurkan aspirasi mereka
melalui berbagai kelompok strategis di dalam masyarakat, terutama DPRD dan
kepala daerah.
Dengan dilaksanakannya otonomi daerah, kesempatan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam berbagai aktifitas politik tingkat lokal menjadi lebih
terbuka. Peran serta ini juga termasuk dalam hal meredam perselisihan antar
elite. Rakyat dapat menyampaikan aspirasi melalui dialog maupun demonstrasi
tetapi semua itu harus dilakukan secara santun. Adalah baik jika dalam suatu
negara muncul semangat persamaan yang berlandaskan pada prinsip kesamaan dimuka
hukum, namun jangan sampai rakyat jatuh ke dalam semangat persamaan yang
ekstrim, yaitu, mereka menjadi diktator mayoritas sehingga dapat merusak prinsip
demokrasi itu sendiri (Montesquieu, 1993: 34). Jika semangat persamaan ekstrim
tersebut muncul di tengah-tengah rakyat, anarki dan berbagai tindak kekerasan
melawan hukumlah yang akan terjadi.
Selain pada tingkat elit politik, masalah juga terjadi di birokrasi yang
dijangkiti semangat etnosentrisme sehingga seringkali terjadi diskriminasi dalam
proses pengisian jabatan di daerah. Pegawai yang putra daerah lebih mudah
mendapat posisi-posisi puncak seperti kepala dinas dan sekretaris daerah. Lebih
sulit lagi bagi pegawai pusat yang ditempatkan di daerah. Mereka mendapatkan
perlakuan sangat diskriminatif sehingga banyak yang kecewa karena
termarjinalkan.
Apabila sikap buruk para elit dan pihak lainnya yang menghasilkan benturan
secara vertikal dan horisontal ini tidak diakhiri, efficient cause tidak bisa
diandalkan sebagai pilar penyokong bangunan otonomi daerah. Bias dipastikan
bangunan otonomi daerah tidak akan berdiri kokoh dan pada akhirnya sintesis
kehidupan bernegara yang desentralistik-demokratik akan segera menjadi tesis
baru sebagai respons dari perilaku buruk elit politik.
Untuk menghindari hal itu, semua SDM yang termasuk efficient cause harus
berusaha bertindak sesuai etika dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan sendiri dan kelompok. Pada diri para elit politik ini
sepatutnya terdapat sifat altruis, dimana kepentingan rakyat harus diutamakan.
Selain itu sikap yang didasari etnosentrisme dan semangat kedaerahan yang
berlebihan harus dihilangkan. Jadi agar tetap tercipta sintesis kehidupan
bernegara yang desentralistik-demokratik, efficient cause yang sekarang ini
tercemar oleh sikap amoral, harus menjadi baik. Caranya, melalui perbaikan
moralitas elit politik dan menghilangkan sikap etnosentrisme dan semangat
kedaerahan berlebihan.
Perbaikan pada ‘material Cause’
Masalah lainnya yang harus diperbaiki adalah prilaku pemerintah daerah yang
terlalu bernafsu mendapatkan dana dari masyarakat secara cepat. Banyak
pemerintah daerah yang salah paham dalam menterjemahkan program otonomi daerah.
Mereka beranggapan bahwa otonomi daerah berarti keharusan mencukupi sendiri
keuangan di daerahnya. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Pemerintah pusat
tetap mendistribusikan sejumlah dana ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Akibat dari kesalahpahaman ini, banyak
pemerintah daerah berusaha menarik pungutan sebanyak mungkin dalam berbagai
kegiatan masyarakat dan dunia usaha di wilayahnya. Dengan dalih untuk
memperbesar PAD, untuk mencukupi kebutuhan sendiri di era otonomi, ditetapkanlah
berbagai Peraturan Daerah (Perda) sebagai landasan menarik dana dari masyarakat
dan kalangan dunia usaha. Akibatnya sangat fatal bagi iklim usaha di daerah
tersebut. Putaran roda bisnis mengalami perlambatan, dan muncul high cost
economy. Pada akhirnya perekonomian di daerah akan semakin memburuk jika tidak
boleh disebut mati.
Kronologis kematian ekonomi daerah akibat terlalu banyaknya pungutan adalah
sebagai berikut (Sugiarto, 2003). Karena terlalu banyak pungutan, keuntungan
para pengusaha menurun tajam. Kemudian mereka menyiasatinya, disatu sisi dengan
menekan upah buruh serendah mungkin, di sisi lain, meningkatkan harga produk.
Akibatnya, rakyat kecil yang kebanyakan adalah buruh yang telah diturunkan
upahnya tersebut, kembali harus menanggung beban berupa kenaikan harga-harga
sehingga akhirnya tidak terjangkau. Pada titik ini, selain merugikan kaum buruh
pada akhirnya juga menyulitkan pengusaha karena barang hasil produksinya tidak
terserap pasar.
Pengusaha kemudian melempar produk tersebut ke luar daerah atau ke luar negeri.
Namun karena mahal (akibat high cost economy), produk tersebut tidak mampu
bersaing dengan produk sejenis dari daerah atau negara lain. Akhirnya pengusaha
akan menutup atau merelokasi usahanya ke luar daerah yang iklim usahanya
kondusif. Pada titik ini, PAD daerah tersebut akan menurun drastis dan
perekonomian daerah akan mati
Realitas demikian sangat mengkhawatirkan sebab dapat menimbulkan gagalnya daerah
mengurus rumah tangga sendiri. Dengan bangkrutnya daerah, akan mengundang niat
pemerintah pusat untuk kembali menerapkan sentralisme kekuasaan dan
otoritarianisme. Merujuk masalah material cause, yaitu masalah terlalu banyaknya
Perda bermasalah, ratusan Perda dinilai tidak layak dan kontraproduktif terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah, hal ini dapat melahirkan suatu antitesis, yaitu,
pemerintahan sentralistik-otoriter. Terlalu banyaknya Perda bermasalah yang
berakibat pada high cost economy harus dihindari dengan cara mengkaji ulang
setiap Perda dan produk hukum daerah lainnya. Perda yang kontraproduktif
terhadap kemajuan perekonomian daerah sepatutnya dicabut.
Penyelesaian paling mendasar dari masalah ini adalah dengan melakukan pembalikan
cara pikir pejabat publik daerah (Sugiarto, 2003). Cara pikir yang sekarang
berorientasi pada bagaimana mengambil untuk kemudian memberi harus diubah
menjadi bagaimana memberi baru kemudian mengambil. Yang harus dilakukan sekarang
bukanlah menerbitkan instrumen pungutan (Perda) sebanyak-banyaknya, melainkan
memberi sarana dan prasarana berusaha yang baik. Dengan langkah itu diharapkan
akan banyak investor yang tertarik menanamkan modalnya. Setelah banyak
perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut, baru pemerintah daerah dapat
mengambil pajak dan retribusi, tentunya dengan perangkat Perda yang wajar.
Di sisi pusat, harus ada perubahan dalam undang-undang tentang perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Undang-undang tersebut harus dibuat sedemikian rupa
sehingga daerah-daerah yang miskin sumber daya alam namun memiliki perputaran
roda perekonomian yang tinggi dari sektor perdagangan dan jasa akan mendapat
dana perimbangan dari bagi hasil penerimaan non-sumber daya alam tersebut
(Hidayat, 2000: 129). Selain itu harus diusahakan agar daerah yang benar-benar
miskin, yaitu, yang tidak memiliki sumber daya alam disertai tidak ada kegiatan
perdagangan dan jasa, bisa mendapat dana lain, misalnya, dana dari upaya subsidi
silang dengan daerah kaya.
Optimisme Berdasarkan Hasil Refleksi
Setelah causes bermasalah diperbaiki, sintesis –kehidupan bernegara dengan
kekuasaan yang terdesentralisasi dalam bentuk daerah-daerah otonom disertai
iklim politik nasional dan lokal yang demokratis– yang sekarang hadir dalam
kehidupan bernegara akan dapat dipertahankan. Sintesis ini pada tahap tertentu
bisa dikatakan sebagai bentuk federalisme. Optimisme ini tentu saja merupakan
hasil pemikiran rasional, yakni, berfungsi baiknya semua cause dan hadirnya
variabel-variabel terpenting dari demokrasi. Pendek kata, semua variabel
terpenting demokrasi hadir di dalam panggung politik negeri kita.
Variabel pertama adalah pemilihan umum yang demokratis. Di tahun 1999, kita
bersama sudah melaksanakan pemilu yang demokratis. Semua warganegara yang sudah
dewasa dapat menyalurkan aspirasinya tanpa tekanan dan rasa takut. Variabel
kedua adalah adanya rotasi kekuasaan. Rotasi ini penting untuk mencegah semakin
terkonsentrasinya kekuasaan dan kewenangan pada satu individu penguasa. Variabel
ketiga adalah subordinasi militer, dimana militer tidak ikut bermain dalam
panggung politik kekuasaan, baik di tingkat nasional ataupun lokal. Di
Indonesia, pada tingkat tertentu, tampaknya subordinasi militer ini sudah
tercipta. Hal ini terbukti dengan adanya komitmen militer untuk tidak melibatkan
diri dalam kehidupan politik. Veriabel terakhir adalah adanya partai oposisi dan
kelompok-kelompok strategis lain yang mengkritisi pemerintah.
Selain itu, demokratisnya kehidupan politik Indonesia tampak dari adanya
kebebasan warganegara untuk menyuarakan aspirasi dan keinginannya. Tindakan
represif, yang dijalankan di era Orde Baru terhadap kelompok rakyat yang
melakukan demonstrasi, tampaknya sudah mulai ditinggalkan aparat. Rakyat telah
memiliki kebebasan untuk berperan serta dalam penentuan setiap pembuatan
kebijakan publik. Namun hendaknya berbagai pihak menjaga jangan sampai kebebasan
rakyat tersebut berubah menjadi diktator mayoritas yang bermuara pada anarki.
Sekali anarki terjadi, tidak tertutup kemungkinan muncul kebutuhan akan adanya
“orang kuat” yang bisa meredam tindakan anarki tersebut. Kebutuhan akan adanya
“orang kuat” tersebut akan membuka kesempatan lahirnya suatu pemerintahan
tirani, karena tirani umumnya berawal dari demokrasi (Plato, 2002:385). Namun
kita tidak perlu khawatir, selama berbagai pihak menjaga agar kebebasan rakyat
ini tidak kelewat batas, kehidupan demokrasi akan tetap bertahan sesuai dengan
norma-normanya.
Penyempurnaan Sistem Demokrasi Lokal
Dengan syarat bahwa masalah dalam efficient dan material cause diselesaikan dan
variabel demokrasi terpenting tetap hadir dalam panggung politik Republik,
penulis yakin bahwa sintesis berupa kehidupan bernegara yang
desentralistik-demokratik akan bisa dipertahankan. Meskipun, tentu saja tetap
harus diupayakan adanya penyempurnaan sistem demokrasi lokal. Penyempurnaan yang
sepatutnya dilakukan antara lain dalam pemilihan kepala daerah yang sekarang
dilakukan oleh DPRD, diganti menjadi pemilihan langsung. Penguatan anggota DPRD
harus diimbangi dengan kewajiban mereka untuk mengumumkan kekayaannya serta
pelarangan melakukan rangkap jabatan di lingkungan pemerintahan dan peradilan.
Selain itu, harus pula diciptakan mekanisme bagi rakyat daerah yang merupakan
konstituen politik untuk bisa mencopot politisi “nakal” dari jabatannya dan
menggantikan dengan yang lain. Semua itu demi meningkatkan peran serta rakyat
lokal dalam setiap pembuatan kebijakan.
Pemilihan kepala daerah secara langsung lebih baik dibanding sistem perwakilan
karena dengan menentukan sendiri kepala daerahnya, rakyat akan lebih merasa
bertanggungjawab terhadap pilihannya. Di sisi lain, dipihak kepala daerah, akan
merasa benar-benar bertanggungjawab pula terhadap rakyat. Akuntabilitas kepala
daerah benar-benar tertuju kepada rakyat, begitu pula sebaliknya. Relasi
langsung ini akan lebih mendekatkan jarak antara pemerintah dan yang diperintah.
Dengan relasi demikian, diharapkan rakyat akan semakin mudah untuk menyalurkan
aspirasi dan mengontrol implementasi kebijakan publik di bawah masing-masing.
Berdasarkan seluruh penjelasan di atas, struktur pemerintahan Indonesia masa
depan adalah pemerintahan yang terfragmentasi dalam banyak ruang dengan sekat
yang jelas. Dalam masing-masing ruang tersebut, setiap “komponen pemerintahan”
di tiap level, yaitu setiap Pemda Kabupaten/Kota, Pemda Propinsi dan Pemerintah
Pusat dapat bergerak bebas dalam mengatur rumah tangga sendiri. Jadi, secara
spekulatif, bentuk otonomi daerah tahun 2020 adalah kehidupan bernegara dengan
kekuasaan dan kewenangan yang terdesentralisasi secara penuh –jika tidak boleh
disebut sebagai federalisme– dalam bentuk daerah-daerah otonom disertai iklim
politik nasional dan lokal yang demokratis.

POLITIK: KABUPATEN / KOTA , PROVINSI

POLITIK: KABUPATEN / KOTA , PROVINSI

POLITIK: KABUPATEN / KOTA , PROVINSI

POLITIK: KABUPATEN / KOTA , PROVINSI